Penyakit hati
Oleh : Ahmad Sya’roni
1.
Sombong
Sering
orang karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong
dan
menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah
melarang kita untuk menjadi sombong:
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ
وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا
“Janganlah
kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ
مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah
menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ
جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
“Masuklah
kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah
seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita
tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa.
Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun
kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi
dewasa. Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari
kita. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti
akan lapuk dimakan zaman.
Imam
Al Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin menyatakan bahwa manusia janganlah
sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari
tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran.
Bukankah
Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina.
“Bukankah
Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
2. Dusta
Adapun Al-Kadzib
(kebohongan), maka perbuatan ini akan mengantarkan pada kejahatan, yaitu
berpalingnya dari sifat istiqamah. Ada juga yang mengatakan bahwa kebohongan
adalah kemaksiatan yang paling cepat menyebar. Tentang tercelanya membicarakan
segala sesuatu yang ia dengar, Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang
dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar”.
(HR. Muslim 1/10)
Abdullah bin
‘Amr berkata, “Rasulullah pernah datang ke rumah kami,
waktu itu aku masih kecil, akupun keluar utk bermain. Ibuku kemudian memanggil,
“Ya Abdullah kemari, nanti akan ibu beri sesuatu”. Maka Rasulullah
bertanya: “Apa yang akan kamu berikan?” Dia mejawab, “Saya akan memberi
kurma”. Rasulullah kemudian bersabda, “Seandainya engkau tak melakukan
(apa yang engkau katakan), berarti telah dicatat atasmu satu kedustaan.”
(HR. Abu Daud no. 4991)
Nabi bersabda, “Seseorang
yang senantiasa & terbiasa dgn dusta akan dicatat di sisi Allah ta’ala
sebagai pendusta.” (HR. Bukhari 10/423, Muslim no. 2606).
Faktor pendorong
berbuat dusta :
Motif yang mendorong
orang-orang yang memiliki jiwa nista untuk melakukan kedustaan cukup banyak,
diantaranya adalah :
1. Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan
tidak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap
gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar.
2. Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan utk
mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dgn maksud menyombongkan diri
atau utk memperoleh keuntungan dunia, ataupun karena motif-motif lainnya.
Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga beli tanah atau mobil, atau
menyamarkan data-data yang tidak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang
dilakukan pihak keluarganya.
3. Mencari perhatian dgn membawakan cerita-cerita
fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
4. Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha
lari dari kenyataan, baik dlm kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.
5. Terbiasa melakukan dusta sejak kecil.
Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena, sejak tumbuh
kuku-kukunya (sejak kecil), sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya
berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dlm lingkungan sosial semacam itu.
6. Merasa bangga dgn berdusta, ia beranggapan
bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar, dan perilaku yang
baik.
3. ‘Ujub (kagum akan diri sendiri)
Ini
mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri.
Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal
dari Allah. Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah
‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya
untuk Allah.
Berhati-hatilah dengan penyakit ujub, sebab jika sudah menjangkit kedalam hati
hanya akan menimbulkan keburukan. Ujub merusak dan menghancurkan amal kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda:
ثَلاَثٌ
مُهلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَيً مُتَّبَعٌ وَاِعْجَابُ المَوءِ بِنَفْسِهِ
Artinya
: Tiga perkara yang dapat menghancurkan, yaitu : kebakhilan yang ditaati,
hawa nafsu yang dituruti dan ujub seseorang terhadap dirinya.
Mula-mula
ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia,
paling segala-galanya dan paling sempurna dibandingkan orang lain. Karena dengan
anggapan yang demikian itu maka hatinya merasa puas dan bangga atas apa yang
dirasa. Kemudian berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan
tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang
demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang
telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal,
maka tepatlah kiranya jika ujub ini adalah pangkal kemaksiatan, kelalaian dan
kesenangan nafsu untuk merasa puas kepada dirinya, sedangkan orang yang merasa
puas dengan dirinya sendiri karena menganggap sempurna, maka dia akan buta
dengan kelemahan-kelemahan yang dia miliki.
Ibnu
Mas’ud berkata bahwa faktor penyebab keselamatan manusia itu ada dua perkara,
yaitu bertaqwa dan menanamkan niat yang sungguh-sungguh. Seangkan faktor
penyebab kecelakaan atau kebinasaan juga dua perkara, yaitu putus asa dan
membanggakan diri.
Bahaya ujub sebagaimana riya’ merupakan syirik kecil, demikian pula ujub
merupakan syirik kecil juga. Riya’ merupakan syirik dari sisi orang yang
beramal saleh menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari ganjaran
berupa pujian dan sanjungan, sedangkan ujub merupakan kesyirikan dari sisi
orang yang beramal saleh menyertakan dirinya bersama Allah dalam keberhasilanya
beramal saleh, seakan-akan bukan allah semata yang menjadikanya berhasil
beramal saleh akan tetapi ia juga turut andil dalam keberhasilanya beramal
saleh.
كَرَّرَهُ
زِيَادَةً فِي التَّنْفِيْرِ وَمُبَالَغَةً فِي التَّحْذِيْرِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْعَاصِي
يَعْتَرِفُ بِنَقْصِهِ فَيُرْجَى لَهُ التَّوْبَةُ وَالْمُعْجَبُ مَغْرُوْرٌ
بِعَمَلِهِ فَتَوْبَتُهُ بَعِيْدَة
Artinya
: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi-ngulanginya
(*ujub !, ujub !) sebagai tambahan (penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan
sikap berlebih-lebihan dalam mengingatkan (*umatnya). Hal ini dikarenakan
pelaku maksiat mengakui kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat,
adapun orang yang ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit
baginya untuk bertaubat" (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami' as-Shoghiir
2/606)
Tanda-tanda
terjangkit penyakit ujub :
Menurut Almunaawi Assyafi’i
menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang ujub adalah :
1.
Dia merasa heran jika doanya tidak
dikabulkan oleh Allah. Dia merasa bahwa ketaqwaanya dan amalanya mengharuskan
doanya dikabulkan oleh Allah hal ini menunjukkan ujubnya dengan amalan
saleh karenanya tatkala doanya tidak dikabulkan merasa heran.
2.
Jika orang yang mengganggunya
ditimpa musibah, maka dia merasa bahwa itu merupakan karomahnya.
Untuk mengobati penyakit ujub,
diantaranya sebagai berikut :
1.
Menyadari bahwasanya mampunya kita
beramal sholeh adalah semata-mata kemudahan dan karunia dari Allah, firman
allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti
langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan
perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah
dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih
(dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” [An-Nuur : 21]
2.
Banyak ibadah yang agung yang
disyari'atkan untuk diakhiri dengan istighfar. Hal ini agar para pelaku
ibadah-ibadah tersebut tidak merasa ujub dengan ibadah-ibadah yang telah mereka
lakukan, akan tetapi tetap merasa dan sadar bahwa ibadah yang mereka lakukan
tetap ada kekurangannya.
4. Iri dan Dengki
Allah
melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai
dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
Ÿوَلا تَتَمَنَّوْا مَا
فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ
فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’
32]
Iri
hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu. “Tidak ada iri
hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu
dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan
kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jika
kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan
agar yang bersangkutan dilimpahi berkah. “Apabila seorang melihat dirinya,
harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka
hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri
adalah benar.” (HR. Abu Ya’la)
Dengki
lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang
lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha
mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun
perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang
yang dengki:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ
إِذَا حَسَدَ
“Dan
dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian
bisa menghancurkan pahala-pahala kita. “Waspadalah terhadap hasud (iri dan
dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan
kayu.” (HR. Abu Dawud)
5. Riya’
Riya’
adalah berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang
mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti
shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri
riya:
“Orang
yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila
sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan.
Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila
berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat.” (HR. Ibnu
Babawih).
Orang
yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ
مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا
يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.” [QS. Al-Baqarah:
264]
"Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari
shalatnya, yang berbuat karena riya.” [Al Maa’uun 4-6]
Imam
Al Ghazali mengumpamakan orang yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika
dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir,
baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari budak-budak
tersebut.
Seperti
itulah orang riya’. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia
malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari
hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk
mendapat pujian para budak.
Agar
terhindar dari riya’, kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala
(Lillahi ta’ala).
6. Bakhil atau Kikir
Bakhil
alias Kikir alias Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu
cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
Ÿ
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal
segala harta kita termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita
tidak punya apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa
apa-apa kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya
harta yang kita simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak
akan ada gunanya bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk
hidup bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
“Dan
adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan
pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan
hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang
justru jadi harta yang bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang
kita belanjakan di jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi
pahala yang balasannya adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
“Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
0 Komentar:
Posting Komentar